Nama : Khoirun Nisa
NPM : 22209434
Kelas : 4eb19
Tugas : Akuntansi Internasional
Industri tekstil dan
garmen Indonesia telah lama menjadi pilar utama bagi perekonomian Indonesia,
yang memberikan lapangan kerja dan devisa yang sangat besar. Namun persaingan
di pasar global semakin ketat.
Bagi pengekspor
Indonesia, tren yang ada cukup mengkhawatirkan: impor Tekstil dan Produk
Tekstil (TPT) Amerika menurun, dan banyak perusahaan Indonesia bergantung pada
pasar ini. Meskipun negara-negara Uni Eropa juga tujuan ekspor yang penting,
banyak pengekspor merasa bahwa Uni Eropa adalah pasar yang sulit ditembus
karena pesanan yang lebih kecil dan kecenderungannya membeli dari berbagai
sumber. Pasar alternatif lain seperti Jepang juga sulit ditembus, dimana banyak
perusahaan Indonesia berpendapat standar yang diterapkan terlalu tinggi. Selain
itu, konsumen Jepang cenderung sangat loyal kepada produk tertentu dan hubungan
yang terjalin dengan pemasok Cina dan Korea sebelumnya. Akibatnya, Perjanjian Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN dengan Jepang yang ditandatangani beberapa tahun lalu
belum mampu signifikan mendorong ekspor atau investasi Jepang dalam produksi
tekstil Indonesia.
Di samping itu, ada
kelebihan kapasitas produksi garmen di negara-negara pengekspor di seluruh
dunia. Kemajuan teknologi yang memungkinkan pengusaha memenuhi berbagai
kebutuhan memperbesar kemungkinan buyer mencari sumber barang
yang mereka inginkan dari mana pun di dunia. Dilatarbelakangi kecenderungan
tersebut, hambatan yang dihadapi UKM Indonesia untuk mendapatkan L/C cukup
besar; sehingga mengurangi daya saing dalam situasi yang sudah sulit ini.
Perusahaan tekstil dan
garmen menggunakan L/C untuk mendapatkan modal kerja guna membiayai pesanan
mereka. Modal itu sangat penting untuk membeli atau membayar uang muka seluruh
bahan mentah dan bahan lain yang dibutuhkan, termasuk kain, benang, retsleting,
kancing, dll. Sebagian dari barang itu tersedia di dalam negeri namun banyak
pula yang harus diimpor. Jika buyer tidak mau membuka L/C,
pengusaha kesulitan cepat mendapatkan bahan mentah– masalah yang diperparah
oleh fakta bahwa buyer ingin pesanan dipenuhi lebih cepat dari
sebelumnya. Banyak buyer enggan membuka L/C, karena
ketatnya persaingan antar pengusaha tekstil sehingga mereka dapat cepat
menemukan alternatif yang lebih murah.
Dana dibutuhkan untuk membuka L/C
dan uang itu tidak dapat digunakan untuk keperluan lain. Jika pengusaha dapat
menanggung biaya pengadaan bahan dan produksi tanpa uang muka dari buyer,
maka buyer dapat menghemat uang. Karena itu, mereka memilih
mencari produsen yang dapat menanggung biaya sendiri dibandingkan pengusaha
yang memerlukan pembiayaan dari buyer.
Untuk mengatasi masalah ini, menurut
teori, produsen yang tidak bisa mendapatkan L/C dari buyer dapat
meminta kredit dari bank atas tanggungan sendiri. Jika usaha sedang baik
dan buyer dapat diandalkan, ini bukanlah masalah. Namun, di
Indonesia, sejak krisis moneter tahun 1997, bank merasa aman dari risiko
dengan menyimpan uang rekening yang pada dasarnya milik pemerintah, dengan
bunga sekitar 9 persen. Meskipun bank mungkin memperoleh laba lebih besar
dengan memberikan kredit, misalnya sebesar 15 persen, lebih riskan menyalurkan
kredit dibandingkan dengan keuntungan pasti yang didapat dari pemerintah.
Dengan demikian, bank-bank di Indonesia, yang masih enggan mengambil risiko,
enggan untuk menyalurkan kredit. Buyer yang
lebih suka memesan kepada produsen yang mampu membiayai sendiri atau yang
dapat mengurus pembiayaannya sendiri akan mencari pengusaha di negara lain di
mana bank bersedia untuk menyalurkan kredit, bahkan mungkin piutang, dan
pinjaman, akibatnya produsen Indonesia bisa dirugikan.
1.
Pembeli : Indonesia
2.
Penjual : Amerika, Jepang, Korea dan Cina
3.
Bank Eksportir :
Indonesia
4.
Bank Importir :
Uni Eropa
5.
Barang yang diperjualbelikan :
Tekstil dan Garmen